Prapak Kranggan Temanggung Jawa Tengah 56271

Rabu, 19 Desember 2012

Fidyah Shalat Untuk Orang Meninggal


Fidyah Shalat Untuk Orang Meninggal


Fidyah Shalat Untuk Orang Meninggal
Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak Kiai yang saya ta’dzimi. Di lingkungan saya ada seorang warga yang tergolong tua meninggal dunia. Kemudian ada seorang Ustadz mengarahkan keluarga almarhum agar menyediakan fidyah untuk puasa dan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya. Yang saya ketahui, fidyah hanya berlaku bagi puasa yang ditinggalkan dan tak mungkin di qadha, karena alasan udzur. Apakah memang ada fidyah bagi shalat yang ditinggalkan? Kalau ada, adakah dalil shahihnya?

Ahmad (Jakarta Utara)
Jawaban :
Wa’alaikumsalam wr. wb.
Bapak Ahmad yang saya hormati. Permasalahan yang  Bapak sampaikan, tidak hanya terjadi di lingkungan anda saja, tapi juga di beberapa daerah lain. Mungkinfidyah puasa tidak terlalu kita permasalahkan. Sebab dalil kebolehannya jelas, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Sedang fidyah shalat, sampai sekarang masih menjadi polemik di kalangan ulama.
Ada Hadits riwayat Abu Dawud (No. 952), al-Tirmidzi (No.372), Ibnu Majah (No.1223), dan Ahmad. Yang artinya :
Dari Imran bin Husaini, ia berkata, Aku terkena penyakit wasir (yang membuat shalatku terganggu). Aku pun menanyakannya pada Nabi Muhammad Saw. Beliau menjawab, shalatlah sambil berdiri! jika tidak bisa, shalatlah sambil duduk ! jika masih tidak bisa, shalatlah sambil berbaring!.
Dari Hadits  di atas, kita dapat melihat bahwa tidak ada kompensasi untuk meninggalkan shalat, meskipun dalam keadaan sakit. Shalat bisa dilakukan dengan berdiri, duduk, atau berbaring, bahkan dengan isyarat sekalipun, sesuai kondisi dan kemampuannya. Maka menurut pendapat yang mengacu pada hadits ini, tidak adafidyah bagi orang wafat yang meninggalkan shalat semasa hidupnya.
Ada juga ulama yang berpendapat lain. Menurut pendapat ini, amal ibadah manusia itu terbagi dua. Ada yang dapat diwakilkan apabila yang besangkutan udzur, seperti sedekah dan haji dan ada juga yang tidak dapat diwakilkan, seperti masuk islam, puasa, shalat, dan membaca al-Qur’an. Untuk kategori pertama, pahalanya dapat sampai pada yang meninggal, meskipun yang melakukan orang lain. Sedang untuk kategori kedua, pahalanya tidak sampai pada yang meninggal. Sebagaimana halnya ketika dia hidup, amal ibadah itu tidak boleh diwakilkan. Hanya saja, untuk menebus shalat atau puasa yang ditinggal semasa hidupnya, diharuskan bayar fidyah, yaitu memberi makanan  sebanyak satu mud (kurang lebih 1 liter) gandum (atau makanan pokok setempat) untuk satu hari yang dia tinggalkan semasa hidupnya.
Kesimpulan di atas berdasarkan Hadits riwayat al-Nasai dalam kitabnya al-Sunan al-Kubro (IV/43) dan al-Thahawi dalam kitabnya Musykil al-Atsar (III/141). Begitu juga Ibn al-Qayyim dalam kitabnya al-Ruh (hal.239). Semuanya berasal dari Ibnu Abbas ra. Hadits tersebut berbunyi,
“La yusholli ahadun ‘an ahadin, wa lakin yuth’imu ‘anhu makana kulli yaumin muddan min khintotin”
Artinya: “Seseorang tidak dapat menggantikan shalat atau puasa orang lain, tapi dia dapat menggantinya (berupa fidyah) dengan makanan, setiap harinya satu mud gandum.
Hadits ini sanadnya shahih namun mauquf sebab bersandar pada seorang sahabat, Ibnu Abbas ra. Lebih lengkapnya silakan baca: Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi dalam kitabnya Syarh al-Aqidah al-Thahawiyah, editor Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turki dan Syu’aib al-Arnauth, Dar ’Alam al-Kutub, Riyadh, 1418 H/1997 M, cet. Ke-3, hal. 664-676.
Dalam disiplin ilmu Hadits, Hadits mauquf dapat dihukumi marfu’ (nilainya sama dengan Hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw), jika matannya tidak berkaitan dengan masalah. Masalah ijtihadiyah, seperti hal-hal ghaib, turunnya al-Qur’an, dan lain sebagainya. Karenanya, Hadits mauquf dari Ibnu Abbas di atas dapat dihukumi marfu’. Sebab Ibnu Abbas tidak mungkin mengetahui sampainya pahala fidyah pada orang yang mati, kecuali dari Nabi Muhammad Saw sendiri, bukan dari ijtihatnya. Tapi, Hadits sebelumnya yang menguatkan pendapat pertama itu hadits marfu’. Dengan demikian, menurut kami, dalam segi kehujjahannya, Hadits marfu’yang shahih tentu lebih utama dari pada Hadits mauquf yang dihukumi marfu’.  Meskipun keduanya sama-sama memiliki sanad shahih.
Kendati demikian, kita tetap harus menghormati saudara-saudara kita yang membayar fidyah untuk mengganti shalat atau puasa orang yang meninggal. Karena mereka memiliki landasan dan dalil di atas. Tentu dengan catatan, Hadits Ibnu Abba itu tidak dapat dijadikan dalil kebolehan meninggalkan shalat tanpa udzur, kemudian diganti fidyah. Dengan adanya saling pengertian ini, maka pintu perpecahan antar kelompok umat Islam akan semakin tertutup rapat. Semoga ini menjadi bahan renungan.
Baca selengkapnya..

Sampaikah Hadiah Pahala Bagi Orang Meninggal ?


Sampaikah Hadiah Pahala Bagi Orang Meninggal ?

Sampaikah Hadiah Pahala Bagi Orang Meninggal ?
Tebuireng.org - Pertanyaan: Assalamu'alaikum w.w , Bapak pengasuh rubrik telaah fiqih yang kami hormati. Pertanyaan saya singkat saja. Sampaikah hadiah pahala pada orang yang sudah wafat, apakah mereka dapat melihat kita yang masih hidup dan bagaimana hukumnya ziarah kubur? (Dwi Nur Cahyono Nganjuk)
Jawab:
Masalah sampai tidaknya hadiah pahala suatu bacaan (al-Qur'an atau dzikir tertentu yang di Indonesia biasanya dikemas dalam tahlilan) kepada si mayit, para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat, bahwa hadiah pahala bacaan itu bisa sampai pada si mayit, dengan alasan banyaknya hadis sahih tentang sampainya pahala perbuatan orang hidup yang dihadiahkan kepada orang yang sudah mati, antara lain:
Sa'ad bin 'Ubadah bertanya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, ibuku meninggal sedang aku tidak berada di sampingnya ketika itu, apakah bermanfaat baginya apabila aku bersedekah (dan pahalanya aku hadiahkan) untuknya? Rasulullah menjawab: Ya (bermanfaat). Sa'ad lalu berkata: Aku menjadikan engkau sebagai saksi, bahwa tanaman kebunku adalah sedekah (yang pahalanya) untuk ibuku (HR al-Bukhariy). Dalam hadis lain yang juga diriwayatkan oleh al-Bukhariy diceritakan: Ada wanita dari Juhainah bertanya kepada Nabi SAW: , bahwasannya ibuku bernadzar akan naik haji, tetapi ia meninggal sebelum dapat melaksanakan nadzar hajinya tersebut. Apakah aku boleh menunaikan ibadah haji atas namanya (untuknya)? Nabi SAW menjawab: Ya boleh, naik hajilah menggantikan dia. Perhatikanlah, andai dia punya hutang, apakah kamu akan membayar hutangnya? Perempuan itu menjawab: Ya, aku akan bayar hutangnya karena Allah SWT. Nabi SAW menimpali: Padahal hutang kepada Allah SWT lebih berhak untuk dibayar. Bahkan ada hadis yang lebih eksplisit mengenai hal ini, yaitu sabda Nabi SAW (yang maknanya): Bacalah surat Yasin untuk orang-orang mati di antara kamu(HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa-iy dan lain-lain).
Sedang madzhab Maliki dan Syafi'i berpendapat, bahwa hadiah pahala bacaan itu tidak sampai pada si mayit, dengan alasan banyaknya ayat al-Qur'an yang menegaskan, bahwa masing-masing orang itu hanya akan mendapat manfaat atau mudarat dari hasil kerjanya sendiri, antara lain an-Najm 39 yang maknanya:Dan , bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan hadis sahih yang amat populer, bahwa Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): Apabila manusia itu telah meninggal dunia, maka terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya (HR Muslim).
Tetapi semua ulama sepakat, bahwa doa orang yang masih hidup itu sampai dan bermanfaat bagi orang yang sudah mati, dengan alasan antara lain disyari'atkannya doa dalam shalat janazah, dan juga firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr ayat 10 (yang maknanya): Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berdoa: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara yang telah mendahului kami dengan membawa iman. Jangan kiranya Engkau biarkan kami menyimpan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.
Hal ini kalau didiskusikan tentu amat panjang. Menurut saya, mengapa kita payah-payah berdebat tentang sampai tidaknya hadiah pahala itu, sedang shalat kita sendiri saja, kita juga tidak ada yang berani menjamin pasti sampai, pasti diterima. Dan lagi, bukankah doa kita yang masih hidup itu adalah perbuatan kita dan sama sekali bukan perbuatan orang yang sudah mati? Kalau doa disepakati sampai pada yang mati, kenapa kalau amal kebajikan dipersoalkan. Yang terpenting jangan ada percekcokan gara-gara sampai-tidaknya hadiah pahala. Yang berpendapat sampai ya kerjakanlah; sedang yang berpendapat tidak sampai ya jangan mengerjakan, tapi jangan pula mencemooh yang mengerjakan. Gamblang kan!
Adapun tentang apakah orang yang sudah meninggal itu dapat melihat kita yang masih hidup atau tidak, ada beberapa hadis sahih antara lain riwayat Muslim dari Anas RA, bahwa Nabi SAW bersabda yang maknanya: "Sungguh, mayit itu bila sudah dimakamkan akan mendengar suara sandal orang-orang yang menguburkan tatkala mereka meninggalkan pemakaman"; dan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abi Sa'id al-Khudriy RA, bahwa Nabi SAW bersabda yang maknanya: "Sungguh, mayit itu mengetahui siapa yang memandikan, memikul dan memasukkannya dalam liang kubur".
Ada dua hal yang harus diperhatikan mengenai masalah ini:
Mengenai masalah ghaib (termasuk alam kubur), rujukannya mestilah ayat al-Quran atau hadis mutawatir (yang diriwayatkan secara aklamasi oleh umat Islam di semua generasi sehingga kesahihannya tak terbantah). Namun tidak berarti hadis sahih yang tidak mutawatir tidak bisa dijadikan dasar mengenai masalahghaib. Tetap bisa, asal tidak menyangkut hal-hal prinsip keimanan yang wajib dipercayai. Mengenai alam kubur termasuk masalah ghaib yang tidak prinsip, sehingga orang boleh percaya dan boleh juga tidak. Jadi hadis di atas dapat dijadikan dalil dengan pengertian, bahwa jika Nabi SAW benar-benar bersabda demikian, maka kita wajib percaya. Namun karena tingkat kesahihannya tidakmutawatir, maka kita boleh meragukannya. Bukan meragukan Nabi SAW, tapi meragukan kebanaran hadis tersebut apa benar-benar dari Nabi SAW atau bukan.
Hadis tersebut hanya menyinggung keadaan mayit sejak meninggal sampai dikuburkan dan tidak memberitakan bagaimana halnya dengan mayit yang telah bertahun-tahun dikuburkan (saya tidak tahu ada-tidaknya hadis tentang hal ini). Sebab orang yang baru meninggal, kemungkinan ruhnya belum jauh-jauh meninggalkan jasadnya. Tetapi mereka yang sudah lama meninggal, tentu arwah(jamaknya ruh) mereka sudah berada di alam barzakh (alam pembatas antara yang hidup dengan yang telah mati, dan khusus dihuni oleh arwah), sehingga apakah masih bisa melihat kita yang hidup atau tidak, wallaahu a'lam.
Mengenai ziarah kubur itu sendiri, dalam hadis sahih riwayat Muslim Rasulullah SAW memperbolehkannya, yaitu untuk mengambil pelajaran dan mendoakan yang sudah mati. Jangan pernah kita mengharap sesuatu dari mereka yang telah dikuburkan, siapapun dia tidak akan dapat memberi manfaat. Kepada Nabi SAW sekalipun, kita harus mendoakan beliau dengan sebanyak-banyaknya membacashalawat, maka Allah SWT yang akan memberkahi kita lantaran shalawat tersebut. Demikian juga terhadap arwah para wali, kita doakan mereka, insya Allah SWT kita akan mendapat berkah dari Allah SWT lantaran doa kita itu, bukan dari wali yang bersangkutan. Wallaahu a'lam. (Abdullah/tbi.org)
Baca selengkapnya..

Nikah Sirri, Pezaliman terhadap Pernikahan dan Perempuan



Nikah Sirri, Pezaliman terhadap Pernikahan dan Perempuan

“Salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat menghilangkan hak-haknya adalah nikah sirri, yakni melaksanakan pernikahan rahasia …”(Prof. Dr. M. Quraish Shihab).

Pertama-tama, pernikahan (atau perkawinan) mesti difahami sebagai ikhtiar manusia dalam mengahalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan berbasiskan prinsip ikhlas dan terbuka. Atau bahkan lebih dari itu, bahwa pernikahan itu semata-mata wujud tabarru’, yang berorientasi eskatologis-mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan begitu pernikahan hendaknya tidak dipahami secara parsial laiknya akad jual beli barang dagangan atau untuk pemenuhan hasrat seksual belaka.

Sejalan dengan itu, mengutip konsepsi Cak Nur—sapaan akrab alm. Nurcholish Madjid—bahwa perkawinan (pernikahan) yang baik adalah sebuah ikatan seumur hidup, yang disahkan oleh Tuhan. Perkawinan memerlukan sesuatu lebih banyak daripada sekedar “peduli”, “pemenuhan diri”, dan “komitmen”. Perkawinan memerlukan adanya kesadaran tentang kehadiran Tuhan dalam hidup manusia, kehadiran Sang Mahapencipta yang akan membimbing kita ke jalan yang lurus, jalan kebahagiaan sejati dan abadi. Perkawinan menuntut agar masing-masing kita jujur kepada diri sendiri, kepada jodoh kita masing-masing, dan kepada Tuhan.

Maka patut kiranya jika kita merenungkan bahwa pernikahan itu merupakan sebuah perjanjian yang berat karena banyak mengandung konsekuensi-konsekuensi yang berat pula, “Bagaimana kamu (laki-laki) akan mengambilnya (mahar) padahal kamu sekalian (suami-istri) telah saling bersandar, dan mereka (perempuan) itu telah mendapatkan dari kamu (laki-laki) perjanjian yang berat”. (QS. an-Nisa’ [4]: 21).

Ajaran mulia Islam soal pernikahan inilah yang akan saya hadapkan dengan persoalan yang dalam kurun waktu sepekan ke belakang, dimana publik sedang diramaikan dengan pemberitaan yang mengabarkan kontroversi nikah kilat (nikah sirri) yang menjerat Bupati Garut, Aceng HM Fikri. Meskipun nyatanya, kontroversi ini banyak pihak yang menganggapnya sebagai pengalihan isu, perdagangan perempuan, nikah kontrak, dan lain-lain. Dan saya sendiri ingin mengupas persoalan ini terbatas dalam sudut pandang dan konteks nikah sirri.

Penzaliman terhadap pernikahan

Ya, saya menganggap bahwa nikah sirri itu salah satu bentuk penzaliman terhadap hakikat mulia pernikahan itu sendiri. Sebab pernikahan itu kebahagiaan, bukan keburukan apalagi aib, sehingga itu dilarang untuk ditutup-tutupi atau dirahasiakan.

Karena di saat yang sama, Islam justru amat menganjurkan bahwa pernikahan itu mesti diumumkan. Maksudnya adalah bahwa pernikahan itu semata-mata timbul karena adanya sikap saling ikhlas dan terbuka. Pentingnya mengumumkan atau mengabarkan pernikahan ini kepada masyarakat sekurangnya paling tidak agar kemudian tidak timbul prasangka buruk (su’udhan) dan fitnah dari masyarakat. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Umumkan pernikahan dan jadikanlah akad nikah di masjid, serta pukullah rebana”. (HR. Tirmidzi melalui Aisyah ra). Razin bahkan menegaskan adanya riwayat tambahan atas sabda ini, “Karena pemisah antara yang halal dan haram adalah pengumuman”. 

Juga selain itu, pernikahan yang dilangsungkan secara terbuka merupakan wujud rasa syukur atas anugerah Allah Swt kepada mempelai. Karena bertemu dengan jodoh atau pasangan adalah anugerah, karena itu patut disyukuri, agar kelak rumah tangganya berkah dan kelak ketika memiliki anak, lahir dengan selamat dan shalih-shalihah.

Nabi Muhammad Saw, dalam kesempatan lain juga pernah menyuruh sahabatnya, Abdurrahman bin Auf, ketika dia baru berakad nikah, “Semoga Allah memberkatimu! Berpestalah walau dengan menyembelih seekor kambing!”. (HR. Bukhari-Muslim). Demikian do’a dan anjuran Nabi tentang kesunahan merayakan pesta pernikahan (walimah al-‘ursy) kepada Abdurrahman bin Auf dan dengan demikian juga ini berlaku bagi umatnya.

Namun di pihak lain, tidak dipungkiri jika masih ada sebagian pihak terutama para ulama yang mendikotomikan antara legalitas hukum agama (fikih) dan legalitas hukum negara (undang-undang). Pandangan ini acap mengemuka dengan dalih bahwa nikah sirri adalah sah secara agama, tanpa harus dicatat oleh negara. Meskipun memang, pandangan ini secara kasat mendapat legitimasi sekurangnya dari  Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Namun demikian, kita tidak boleh kehilangan daya kritis, yang bisa menjerumuskan pada taklid buta. Sebab kaidah fikih menyatakan, “La yunkaru taghayyur al-Ahkam bi taghayyur al-Azman”, (Tidak bisa diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan zaman).

Nah, berdasarkan kaidah fikih itu maka harus menganggap bahwa fikih adalah produk pemikiran yang relatif, yang pasti berpotensi adanya perubahan sesuai dengan konteks zaman. Dan begitu pun dengan persoalan nikah sirri, ia harus diletakkan sebagai produk pemikiran yang punya ruang dan waktu yang terbatas. Bahwa produk pemikiran (fikih) lampau itu tidak melulu relevan dengan konteks zaman yang terus berubah, termasuk dalam konteks Indonesia. Dan kalau saja kita merujuk kepada kepada Imam Malik, ia justru berpendapat bahwa nikah sirri itu dilarang.

Sementara berkaitan dengan legalitas pernikahan oleh hukum negara, yang diatur dalam UU No. 1/1974 dan UU No 7/1989, ini bisa kita analisis dengan perspektif kemaslahatan universal. Dan saya berpandangan bahwa ini bisa dijadikan penegasan sekaligus untuk meniadakan dikotomi legalitas atau dualisme hukum; agama dan negara. Bahwa dalam konteks Indonesia persepsi soal legalitas agama itu secara otomatis melebur ke dalam legalitas Negara. Kaidah hukum menyatakan bahwa “Keputusan Negara adalah mengikat dan mengakhiri kontroversi (hukm al-qadhi ilzam wa yarfa’ al-khilaf). Dr Yusuf al-Qardhawi, ahli fikih terkemuka asal Mesir mengatakan, “Keputusan pemerintah atau hakim dalam isu-isu kontroversial adalah menentukan dan rakyat wajib mengikutinya”. Dengan begitu, yang harus dijadikan tolak ukur adalah legalitas hukum negara, bukan lagi agama per agama tertentu. Maka dengan sendirinya juga, jika ada siapapun pihaknya yang tidak mengindahkan aturan perundang-undangan (pernikahan) maka harus dikenakan sanksi, sebagaimana yang telah ditentukan dan berlaku.

Penzaliman terhadap perempuan

Konstruksi budaya kita (Indonesia) sudah sejak berabad lama, dibangun atas perspektif dan budaya patriarkhi. Konstruksi budaya yang selalu memandang dan menempatkan perempuan sebagai pihak yang rendah dan di bawah. Sehingga realitasnya, mulut-mulut perempuan dibungkam dan tidak diperkenankan bicara secara bebas. Salah satu produk budaya patriarkhi yang paling akut dalam hal nikah, bisa terlihat dari definisi nikah sendiri dari ulama arus utama, itu tidak lebih transaksi yang melegalkan pemilikan atas tubuh perempuan oleh laki-laki, dan tidak sebaliknya. Konsekuensi dari pemahaman semacam ini, maka perempuan kehilangan kedaulatannya. Sampai kabar ini mencuatpun, tidak sedikit pihak yang justru mempersalahkan perempuan (Fani Oktora), ketimbang pihak laki-laki (Aceng HM Fikri). Maka kita bisa melihatnya dengan jelas betapa sedari hal yang paling mendasar saja, pratik penzaliman ada dan nyata.

Sebagaimana secara eksplisit saya kemukakan di atas dengan mengutip pandangan seorang ulama ahli tafsir Indonesia, Prof Dr M Quraish Shihab, bahwa salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dapat menghilangkan hak-haknya adalah nikah sirri, yakni melaksanakan pernikahan rahasia.

Sementara lebih jauh soal nikah sirri sebagai bentuk penzaliman terhadap perempuan, kembali melanjutkan pendapatnya Quraish Shihab, bahwa nikah sirri inilah yang kemudian dapat melahirkan istilah lelaki dan perempuan piaraan. Sambil merujuk pada QS. An-Nisa’ [4]: 25, Quraish menegaskan bahwa larangan piaraan itu menyebutkan larangan berzina dan juga larangan kepada perempuan-perempuan untuk mengambil lelaki sebagai piaraannya; sedangkan, QS. al-Ma’idah [5]: 5 melarang lelaki mengambil perempuan-perempuan sebagai piaraan. Ini, lanjut Quraish, walaupun yang diambilnya itu seorang laki-laki tertentu atau perempuan tertentu karena “memelihara” seorang lelaki sebagai teman berkencan dan berzina—demikian juga sebaliknya—kendati kelihatannya serupa dengan pernikahan biasa, pada hakikatnya ia tidak sejalan dengan pernikahan yang sah, yang melarang kerahasiaan serta menuntun penyebarluasan beritanya.

Atas dasar analisis sederhana saya di atas, maka dalam menyikapi kasus nikah sirri, saya ingin mengajukan dua rekomendasi solusi. Pertama, menghilangkan dikotomi legalitas atau dualisme hukum. Dan yang harus dijadikan pijakan adalah legitimasi negara (UU No. 1/1974 dan UU No 7/1989). Maka dengan itu, siapapun pihaknya yang melanggar, harus dikenakan sanksi. Dankedua, adalah mengintensifkan gerakan dan pemberdayaan perempuan berbasis gender. Bahwa perempuan berdaulat atas dirinya dan punya hak-hak untuk berbuat sesuai hati nurani. Demikian. Wallahu’alam bi al-Shawab. 
Baca selengkapnya..

Sabtu, 17 November 2012

Shalat Sunnah Qabliyah dan Ba’diyah Jum’ah


Shalat Sunnah Qabliyah dan Ba’diyah Jum’ah

Selain shalat fardhu lima waktu (dhuhur, ‘ashar, maghrib, isya’ subuh) yang wajib dilakukan oleh semua muslim, ada juga shalat sunnah yang dianjurkan untuk dilaksanakan sebagai pengiring shalat fardhu. Shalat sunnah semacam ini bila dilakukan sebelum shalat fradhu disebut shalat sunnah qabliyah. Sedangkan bila dilaksanakan setelah shalat fardhu disebut shalat sunnah ba’diyah. Shalat sunnah qabliyah mempunyai beberapa ketentuan, yaitu 2 rakaat sebelum shubuh, 4 rakaat (dengan 2 salam) sebelum dhuhur dan 4 rakaat (dengan 2 salam) sebelum ashar.
Sedangkan ketentuan shalat sunnah ba’diyah ialah 2 rakaat sesudah dhuhur, 2 rakaat sesudah maghrib, 2 rekaat sesudah isya dan 1 rekaat witir.
Lalu bagaimanakah dengan shalat jum’at? apakah disunnahkan pula qabliyah dan ba’diyah seperti halnya shalat dhuhur biasa?
Tentu, Sebelum shalat jum’at disunatkan pula shalat sunnah qabliyah seperti halnya ketika hendak shalat Zhuhur. Bahkan demikian pula dengan dua rekaat setelahnya. Hal ini berdasar pada hadis shahih seperti yang diungkapkan oleh Abu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menerangkan:

وأقوى مايتمسك به فى مشروعية ركعتين قبل الجمعة عموم ما صححه ابن حبان من حديث عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَا مِنْ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلا بَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَيْنِ "
“Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pedoman tentang kebolehan shalat dua rakaat sebelum jum’at adalah hadits riwayat Ibnu Hibban dari Abdullah bin Zubair: “tidak ada suatu shalat (fardhu) pun kecuali sebelumnya dilaksanakan shalat dua rakaat (shalat sunnah)”.
Bahkan dalam Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafahal karangan Sulaiman al-Kurdi diceritakan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat qabliyah jum’at dengan empat rakaat.

وقد جاء بسند جيد كما قاله الحافظ العراقى: أنه صلى الله عليه وسلم كان يصلى قبلها اربعا
“Sesungguhnya al-hafiz al-Iraqi pernah mengemukakan sebuah sanad yang kuat tentang hal ini: bahwasannya Rasulullah saw pernah melaksanakan shalat sunnah empat rakaat sebelum shalat jum’at” (Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafahal, juz I hal.327)
demikian pula dengan shalat sunnah ba’diyah, Rasul-pun pernah melakukannya. Seperti yang diriwayatkan oleh Abud dawud.

وروى أبو داود وابن حبان من طريق أَيُّوبُ عَنْ نَافِعٍ قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيلُ الصَّلَاةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ، وَيُصَلِّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِي بَيْتِهِ، وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban Ayyub dari Nafi’:  Ibnu Umar memperpanjang  shalat sbelum pelaksanaan shalat jum’at, dan melaksanakan shalat dua rakaat sesudahnya dirumah, dan ia menceritakan bahwa Rasulullah saw. Juga melakukan yang demikian itu. (Al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafahal, juz I hal.326)
An-Nawawi dan Ibnu Mulaqqqin menilai bahwa beberapa hadits di atas yang dipergunakan sebagai dalil shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah jum’at sebagai hadits yang shahih tanpa cacat.
Sumber: PBNU, 20111. Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU. Surabaya: LTN-PBNu dan Khalista
Baca selengkapnya..

Shalat Menggunakan Sajadah Bergambar dan Bersinar


Shalat Menggunakan Sajadah Bergambar dan Bersinar

Sajadah secara bahasa dapat diartikan dengan tempat bersujud. Yaitu alas untuk shalat. Bersama perkembangan zaman, bentuk sajadah berkembang dan beragam pula. Mulai dari ukuran bentuknya, bahan yang dipergunakan dan juga berbagai hiasan di tengah-tengahnya. Bahkan kini hadir sajadah dengan tingkat aksesoris yang berlebihan. Yaitu menggunakan aksesoris yang dapat mengeluarkan sinar.Hal inilah yang memunculkan masalah baru. Ketika sajadah yang semula digunakan dan dimanfaatkan sebagai alas shalat yang melindungi dari kotoran dan najis ternyata mengganggu kekhusyu’an shalat karena hiasan yang berlebih itu. Padahal di satu sisi tersedia sajadah biasa yang sederhana.
Sebenarnya, selama sajadah itu suci boleh-boleh saja digunakan untuk shalat. Tetapi menjadi makruh digunakan apabila dapat mengganggu kekhusyu’an. Karena pada dasarnya shalat adalah menyembah kepada Allah dengan merasa bahwa diri seorang mushalli (orang yang shalat) itu rendah dibandingkan dengan keagungan Allah. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang shalat di masjidil haram Mekah dan masjid nabawi Madinah, mereka shalat di atas lantai tanpa sajadah karena rasa tawadhu’ yang tinggi kepada Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Fatawa Imam Izzuddin Bin Abdussalam.

لا تحرم الصلاة على سجادة ملمعة معلمة، ويكره على المزخرفة الملمعة. ولم يزل الناس في مسجد مكة والمدينة يصلون على الأرض والرمل والحصى تواضعا لله.

Meskipun Rasulullah pernah shalat diatas Humrah (serban) tetapi itu hanya beberapa kali dan kemungkinan beliau ada udzur syar’i yang menjadikannya shalat diatas humrah tersebut.

Penulis: Fuad Hasan Basya
Baca selengkapnya..

Dilarang Shalat Ketika Mengantuk


Dilarang Shalat Ketika Mengantuk


Islam adalah agama tanpa paksaan. Terlihat sekali bagaimana Rasulullah saw melarang umat dan sahabatnya menjalankan shalat dalam keadaan mengantuk. Tidurlah sekejap untuk menyegarkan badan kemudian baru berdiri melaksanakan shalat. Itupun jika memang waktu yang tersedia masih panjang. Karena kesehatan badaniah adalah hal yang amat penting. Demikian diterangkan dalam beberpa hadits rasululllah sa.
اذا نعس احدكم وهو يصلى فليرقد حتى يذهب عنه النوم فان احدكم اذا صلى وهو ناعس لايدرى لعله يذهب يستغفر فيسب نفسه – متفق عليه
Jikalau kamu sedang mengantuk, dan ingin melaksanakan shalat, maka tidurlah dahulu sampai hilang kantuknya. Karena jika seseorang shalat dalam keadaan sangat mengantuk, (dikhawatirkan)  ia tidak sadar jikalau ia meminta ampunan (istighfar) tetapi memaki-maki dirinya. HR. Bukhari Muslim
Jelaslah bahwa jika dalam keadaan mengantuk hindarilah shalat. Atau buatlah badan sehat dan bugar terlebih dahulu baru kemudian menjalankan shalat. Pada dasarnya Syariat Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk menjalankan dalam keadaan yang berat. Seperti yang pernah Rasulullah larang terhadap Zainab.
دخل النبي صلى الله عليه وسلم دخل فإذا حبل ممدود بين الساريتين فقال ما هذا الحبل قالوا هذا حبل لزينب فإذا فترت تعلقت به فقال صلى الله عليه وسلم حلوه ليصل أحدكم نشاطه فإذا فتر فليرقد - متفق عليه
Rasulullah masuk ke dalam masjid, ia mendapatkan sebuah tali tambang yang dibentangkan diantara dua tiang (layaknya tambang jemuran). Kemudian ia bertanya, “apa ini?” Orang-orang menjawab “ini adalah tali tambangnya zainab. Ketika dia shalat berlama-lama hingga kelelahan maka bersandarlah ia dengan tali tambang itu”. Kemudian Rasulullah berkata “lepaskanlah tambang ini, kalian harus shalat ketika tubuhmu kuat, jikalau sudah capek tidurlah”
Bahkan demikian longgarnya Islam dalam memerintahkan sesuatu, Nabi sendiri pernah menganjurkan shabatnya untuk mengganti shalat malam di waktu siang. Karena keterbatasan tenaga ketika malam sehingga tidak memungkinkan mendirikan shalat. Bisa karena sangat kelelahan maupun terlelap dalam tidur.
قالت عائشة رضي الله عنها كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا فاتته الصلاة من الليل من وجع أو غيره صلى من النهار ثنتي عشرة ركعة ) رواه مسلم
Aisyah pernah berkata bahwa ketika Rasulullah saw tidak dapat menjalankan shalat malam karena sakit atau lainnya, maka shalatlah di siang hari dua belas raka’at. (HR. Muslim).
Hadits di atas juga menjadi dalil bolehnya mengqadha amal-amal sunnah yang tertinggal karena udzur tertentu.
Redaktur: Ulil Hadrwy
Baca selengkapnya..

Senin, 06 Agustus 2012

Beginilah KH Ahmad Dahlan Tarawih


KH Ahmad Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama ‘’Muhammad Darwis’’.  Seusai menunaikan ibadah haji, beliau diganti namanya oleh Sayyid Abu Bakar Syata, ulama besar yang bermadhab Syafii. Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar mendalami ilmu agama. KH Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada Syeh Sholeh Darat. KH Sholih Darat adalah ulama’ besar yang telah bertahun-tahun ngaji dan mengajar di Masjidilharam. Di Pondok pesantren milik KH Murtadho (sang mertua), KH Sholih darat mengajar santri-santri beragama ilmu agama, seperti; Alhilam (tasawof), Kitab Al-Munjiyah (Karya Syeh Sholih Darat), Fikih (Kitab Lataif Al-Taharah), serta beragam ilmu agama lainnya.

Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim As’ary. Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syekh Sholih Darat. Waktu itu, Mohmmad Darwis berusia 16 tahun sementara, Hasyim As’ary berusia 14 tahun. Dalam keseharian, Mohamamd Darwis memanggil Hasyim dengan sebutan ‘’Adi Hasyim’’. Sementara, Hasyim As’ary memanggil Mohamamd Darwis dengan panggilan ‘’Mas Darwis’’. Konon, semasa di Pesantren, keduanya sekamar. Keduannya menjadi santri Syekh Sholih darat sekitar 2 tahun penuh.

Selepas nyantri di Pesantren Syekh Sholih Darat. Keduanya mendalami ilmu agamanya di Makkah, dimana Sang Guru Syekh Sholih Darat pernah menimba ilmu bertahun-tahun lamanya. Tentu saja, sang Guru sudah membekali akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.

Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah nusantara. Praktek ibadah waktu, seperti; tasawuf, wirid, tahlil, membaca barzanzi (diba’) menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama nusantara. Hampir semua karya-karya Syekh Muhmmad Yasin Al-Fadani, Syekh Muhammad Mahfud Al-Turmusi menceritakan tentang madhab al-Syafii dan As’aryiyah sebagai akidahnya. Tentu saja, itu pula yang di ajarkan kepada murid-muridnya, seperti; KH Ahmad Dahlan, Hasyim As’ary, Wahab Hasbullah, Syekh Abdul Kadir Mandailing dll (lihat: Profil Pendidikan dan Ulama’ Indonesia di Makkah: Abd. Adzim Irsad).

Seusai pulan dari Makkah, masing-masing mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah. Mohammad Darwis yang telah di ubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan Muhamamdiyah. Sedangkan Hasyim As’ary mendirikan NU (Nahdhotul Ulama’). Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syekh Sholih Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah. Keduanya juga membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan  akidah, dan madhabnya.

Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadhab Syafii dan berakidah Asary. Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari KH Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di tanah suci. Semisal sholat subuh, KH Ahmad Dahan tetap menggunakan Qunut, dan tidah pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi Muhammad Saw adalah Qunut Nazilah. Karena beliau sangat memahami ilmu hadis dan juga memahami ilmu fikih. Begitu Tarawihnya, KH Ahmad Dahlan praktek Tarawihnya 20 rakaat.

Penduduk Makkah sejak ber-abad-abad, sejak masa Umar Ibn Al-Khttab, telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan tiga witir, hingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. Bagi penduduk Makkah, tarawih 20 rakaat merupakan Ijmak Sahabat. Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan 36 rakaat. Penduduk Madinah ber-anggapan, setiap pelaksanaan 2 X salaman, semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thowaf sunnah. Nyaris, pelaksanaan sholat tarawih hingga malam, bahkan menjelang shubuh.  Di sela-sela tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah. Bagi penduduk Madinah, untuk mengimbangi pahala, mereka melaksanakan tarawih dengan jumlah lebih banyak.

Jika di lihat dari pengertiannya, sebagaimana di dijelaskan oleh al-Hafiz
Ibn Hajar al-A’sqallâniy dalam kitab Fath al-Bâriy Syarh al-Bukhâriy sebagai berikut:

سُمِّيَتْ الصَّلَاة فِي الْجَمَاعَة فِي لَيَالِي رَمَضَان التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا  ِجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلّ تَسْلِيمَتَيْنِ (فتح البارى في كتاب صلاة التراويح)

“Shalat jamaah yang dilaksanakan pada setiap malam bulan Ramadhan dinamai Tarawih karena para sahabat pertama kali melaksanakannya, beristirahat pada setiap dua kali salam.

Istilah Shalat Tarawih disebut juga shalat Qiyam Ramadhan, yang populer pada masa Umar Ibn Al-Khattab ra. Dengan tujuan utamanya ialah, menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan ibadah sholat. Shalat Tarawih termasuk salah satu ibadah yang utama dan efektif guna mendekatkan diri kepada Allah. Sebenarnya, menghidupkan malam Ramadhan, bukan saja tarawih. Namun, sholat merupakan ibadah paling utama, dan ini telah dilakukan oleh jumhur (sebagian sahabat Nabi Muhammmad Saw). Sesuai dengan penuturan Nabi Saw yang artinya:’’ barang siapa menghidupkan Ramadhan dengan Qiyam atas dasar Iman dan semata-mata karena mengharap pahala Allah Swt, maka dosa-dosa akan mendapat ampunan (HR Bukhori).

            Jadi, baik KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asary tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Ketua PP. Muhammdiyah, Yanuar Ilyas ini menuturkan, KH. Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdirinya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi – revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa qunut didalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yang sebelas rakaat (Taqiyuddin Al-Baghdady: Mutiara Sejarah Islam di Indonesia KH Ahmad Dahlan). Sedangkan alasan yang dikemukan oleh dewan tarjih, karena Muhamamdiyah bukan Dahlaniyah.

            Jadi, hakekat sholat Tarawih yang diajarkan oleh ulama sekaliber KH Ahmad Dahlan sudah sesuai dengan ajaran Nabi Saw dan sahabatnya (Ijma’ Sahabat). Praktek di Makkah dan Madinah hingga sekarang juga tetap 20 rakaat dan 3 witir. Jadi, melaksanakan Tarawih 20 rakaat ditambah dengan 3 wirit berarti melaksanakan kesepakatan ratusan sahabat Nabi Muhamamd Saw, sekaligus bentuk kesetiaan terhadap Nabi Saw. Bagi pengikut Muhammadiyah, menjadi bukti kesetiaan terhadap perintis dan penggagas Muhamamdiyah sejati.

Link: http://www.facebook.com/notes/ahmed-azzimi/beginilah-kh-ahmad-dahlan-tarawih/10150964496967543
Baca selengkapnya..